Malam guys, baru ngepost lagi nih. Ini sebenernya tulisan udah lama banget dibuat, tepatnya karangan ini dibuat guna memenuhi tugas Bu Lis, dosen bahasa Indonesia. Bingung awalnya mau buat karangan apa, akhirnya fiksi aja deh. Sedikit cerita aja nih guys, pas gue bacain ni karangan di depan kelas, Bu dosen kepo sama ending ni karangan. whehehe... Temen2 dikelas juga pada nge-ciyehin pas gue baca ini. Entah ada apa dengan mereka pada saat itu -______- Baiklah, langsung aja yaa, silahkaannn... Happy reading on satnight :)
Semilir
angin senja menusuk sekujur tubuhku yang menegang ketika sedang membaca pesan
singkat dari seseorang yang sedang aku
harapkan. “Maaf ya, aku ga tahu. Aku merasa sudah tidak seperti dulu lagi, Fen.
Aku sedang tidak bisa merasakan rasa sayang kepada siapapun, termasuk kamu.” Ya
Tuhan, rasanya saat itu juga seperti ada petir yang menyambarku di siang
bolong. Aku terdiam beberapa menit untuk benar-benar mencerna pesan itu, dan
tak terasa ponselku sudah basah karena air mata yang berdesakkan mengalir dari
sudut mataku. Inikah jawaban atas semua pertanyaan selama hampir satu bulan
ini?
Masih
benar-benar segar di kepalaku bagaimana pengorbanan dan usahanya untuk membuat
hatiku terbuka dan diisi oleh cintanya. Tapi semua itu dengan mudah lenyap dan
tak tersisa sedikitpun di benaknya, seperti orang yang sangat kelaparan kemudian
menghabiskan semua makanannya sampai tak sebutir nasi tersisa. Apakah cinta
yang ia miliki sedangkal itu?
Dahulu
aku tak percaya bahwa cinta itu bisa kadaluarsa, karena hakikatnya cinta adalah
anugerah yang Tuhan berikan kepada setiap hamba-Nya. Cinta itu sendiri sama sekali
tidak dapat dipaksakan, cinta hanya dapat berjalan apabila kedua belah pihak
ikhlas, cinta tidak dapat berjalan apabila mereka mementingkan diri sendiri.
Karena dalam berhubungan, pasangan kita pasti menginginkan suatu perhatian
lebih dan itu hanya bisa di dapat dari pengertian pasangannya.
Tetapi sekarang, setelah
aku membaca tingkah Rendi sekaligus membaca pesan singkat yang ia kirim, aku
percaya bahwa cinta itu bisa kadaluarsa. Cinta yang aku dan ia miliki tidak
seimbang, aku rasa lebih berat di sisiku.
*
“Fen, nebeng aku yok, arah
rumahku kan sama dengan halte yang biasa kamu tunggu bus.” Tanpa berpikir
panjang aku pun langsung meng-iya-kan ajakannya itu, lumayan jarak sekolah ke
halte bus 15 sampai 20 menit jika
ditempuh dengan berjalan kaki.
Tidak ada lima menit kita
sudah sampai di halte pemberhentian bus. Seperti biasa, butuh waktu lama sampai
bus jurusan Comal itu tiba. Tak terasa sudah 20 menit aku menunggu dan bus itu
tak kunjung tiba. Rendi masih setia di sampingku, menemaniku sampai busnya
benar-benar tiba. Tiinn…tiinnn… Ah, akhirnya aku bisa pulang juga.
Hari-hari berikutnya Rendi
seperti tukang ojek pribadiku, aku menunggunya di gerbang sekolah dan tak lama
ia datang dengan sepeda motor silvernya itu.
“Yok, Fen…” Aku hanya membalasnya dengan senyum simpul dan mengambil
posisi duduk di jok belakang.
Seperti itu kegiatan kami
sudah hampir sebulan, tak hanya mengantarku sampai halte pemberhentian bus,
tapi ia juga menemaniku dengan setia, menunggu bus yang tak tentu datangnya kapan.
Hari ke hari aku semakin merasakan sikapnya yang sangat perhatian dan tak
jarang teman-teman di sekolah baik teman kelasnya dan teman kelasku mengira
kita menjalin hubungan khusus. Padahal Rendi dan aku hanya sebatas teman yang
sering cerita masalah-masalah pelajaran ataupun masalah pribadi kami. Ya, tak
lebih dari itu.
“Fen, kamu tahu ga sih atau
pura-pura ga tahu kalau Rendi tuh suka sama kamu?“ Salah satu sahabat Rendi
menegurku saat kita bertemu di kantin sekolah. “Ah, ga usah bercanda deh, Dit.
Aku tau dia lagi naksir teman seangkatan kita juga, tapi aku belum tau sih
orangnya siapa, hehehe..” Jawabku. “Ya ampun Fen, orang itu tuh kamu. Dia
naksir kamu dari kelas X dulu, pas kita baru masuk OSIS, tapi dia baru brani
deketin kamu akhir-akhir ini.” Terang Adit dengan ekspresi wajah meyakinkan. Sedangkan
aku hanya meresponnya dengan wajah kebingungan.
Apa yang Rendi suka dari
aku, anak perempuan sederhana, tidak modis, tidak bisa berbicara pakai bahasa
daerah, sekalinya aku berbicara memakai bahasa daerah teman-teman malah
menertawakanku, “hahaha, wis toh Fen ndak usah mekso”. Hiiisshh rasanya malu
sekali memilki darah Jawa tetapi tidak bisa menerapkannya dalam berbahasa. Apa
yang lebih dari seorang Fenny Silvianingrum?
Mungkin itu yang dinamakan
cinta, tak memandang fisik, materi, ataupun kekurangan dari orang yang kita
cinta. Yang dirasa hanyalah kebahagian saat kita berada dekat dengannya, dan
sakit yang menyiksa saat kita jauh dengannya.
“Aku sayang kamu, Fen.”
Kalimat itu yang selalu terekam jelas di telinga dan pikiranku.
Tahun pertama, tahun kedua,
tahun ketiga, dan kini memasuki tahun keempat.
*
“Fen…… Fenny…… Kamu kenapa? Fenny….” Suara itu
tiba-tiba membuyarkan lamunanku tentang masa-masa indahku dulu bersama Rendi
dan menarikku kembali ke dunia tempatku berpijak. Tanganku masih setia
menggenggam ponsel yang berisi pesan mematikan itu. Mataku tak kuasa menahan
bendungan yang sangat kuat untuk ditumpahkan. Ya Tuhan, semudah itu kah cinta
kadaluarsa?
Kemana kenangan kita selama
ini, begitu tak indah kah mereka sehingga kamu tak ingin mengingatnya kembali.
Apa karena kamu seorang laki-laki sehingga tak bisa menggunakan perasaanmu
untuk merasakan. Ya, aku tau laki-laki lebih memakai logikanya saat menghadapi
segala masalah, termasuk masalah hati. Sehingga kalian dengan mudah
meninggalkan kami, kami yang dahulu kalian perjuangkan dengan susah payah. Tapi
sekarang disaat kami tenggelam pada dalamnya cinta yang telah kalian buat,
kalian sendiri yang menghancurkannya. Dan aku rasa cinta kadaluarsa hanya
dirasakan oleh kalian para kaum Adam. Ketika kandungan yang ada di dalam cinta
sudah sering kalian rasakan, sudah terlalu lama disimpan, dan akhirnya kalian
bosan, kalian datang pada titik jenuh hubungan ini. Dengan mudah kalian pergi.
Apa ini tujuan kalian?
Tuhan, aku masih saja tak
percaya dengan semua ini. Cinta yang ia punya mengapa begitu mudah pergi. Ia
pikir aku akan merelakan cinta yang kupunya pergi dengan mudah? Jelas tidak.
Namun, aku bisa apa? Cinta tidak dapat dipaksakan. Biarlah cinta itu hidup di
tempat yang ia inginkan, yang membuatnya nyaman. Mencintai seseorang tak perlu
ada alasan yang jelas. Karena alasan itu, suatu saat bisa berubah
sewaktu-waktu. Kelak hal itulah yang membuatmu kecewa dan bosan.
Jagalah cinta yang kita
miliki sekarang. Belajarlah untuk mencinta bukan karena ada alasan atau tujuan
tertentu, mencintalah dengan tulus. Karena ketulusan akan menguatkan mereka
yang sedang memperjuangkan cintanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar